BrajaNewsnews. Bengkulu Utara – Di saat gencar gencarnya pemerintah untuk meningkatkan transparansi terhadap penggunaan anggaran keuangan negara, hal ini seperti bertolak belakang dengan kejadian di kabupaten Bengkulu Utara dikarenakan munculnya gelombang kecurigaan yang makin terasa di kabupaten Bengkulu Utara tepatnya di sekretariat DPRD Bengkulu Utara yang mana Tahun anggaran 2025 baru berjalan separuh, tapi kabar tak sedap sudah beredar dari gedung DPRD Bengkulu Utara. Isu yang dibicarakan adanya dugaan monopoli anggaran publikasi.
Beberapa pengelola media lokal mulai angkat bicara. Mereka menilai pembagian dana publikasi tidak adil, bahkan terkesan hanya menguntungkan pihak tertentu. Di tengah isu ini, nama Ketua DPRD Bengkulu Utara, Parmin, ikut disebut.
Nama Parmin muncul setelah sejumlah media mempertanyakan cara pembagian anggaran. Saat dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp, ia menegaskan bahwa tugasnya hanya mengawasi, bukan mengatur teknis pembagian dana.
“Kalau soal pencairan, ya… karena itu bagian dari tupoksi kami untuk mengawasi langsung ke sekretariat. Kalau mengatur, tidak. Hanya sebagai laporan, kami minta,” katanya, Selasa 12 Agustus 2025.
Terpisah, Sekretaris DPRD Bengkulu Utara, Eka Hendriyadi, memilih untuk tidak memberi komentar ketika dimintai penjelasan mengenai besaran anggaran publikasi maupun tudingan monopoli tersebut.
“No comment,” ujarnya singkat saat dihubungi melalui ponsel , saat dilakukan penelusuran, beberapa pemilik media lokal mengaku tidak diajak bekerja sama dalam publikasi kegiatan DPRD tahun ini. Mereka menilai pembagian anggaran tidak merata dan prosesnya tidak terbuka.
“Ada perbedaan nilai kerja sama antar media, bahkan ada yang tidak mendapatkannya sama sekali,” kata salah satu pemilik media yang meminta namanya dirahasiakan.
Ada juga sumber yang menduga adanya “ jalur tol khusus ” dalam pembagian anggaran, yang membuat sebagian media mendapatkan porsi lebih besar, sementara yang lain tidak kebagian sama sekali.
Aturan soal anggaran publikasi di instansi pemerintah sebenarnya sudah jelas. Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) mengatur bahwa pengelolaan anggaran harus transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif.
Selain itu, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberikan hak bagi setiap warga negara untuk tahu bagaimana anggaran digunakan, termasuk untuk publikasi.
Hal ini juga diperkuat oleh Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 yang mewajibkan badan publik mengumumkan rencana kerja dan anggaran secara berkala kepada masyarakat.
Jika benar ada praktik monopoli atau diskriminasi dalam pembagian anggaran publikasi, itu bisa melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat dan bertentangan dengan aturan pengelolaan keuangan daerah.***